Evolusi Surat Kabar
- Kaonashi
- Feb 25, 2019
- 7 min read
Media Cetak
Media cetak merupakan media visual yang pembuatannya melalui proses pencetakan/printing atau offset. Media cetak menyediakan pesan melalui huruf dan gambar-gambar yang diilustrasikan dengan tujuan untuk memperjelas pesan atau informasi yang diberikan. Jenis media cetak ini diantaranya adalah buku teks, modul, buletin, majalah dan bahan pengajaran terprogram.
1. Perkembangan Surat Kabar
1.1 Perkembangan Surat Kabar di Amerika
Surat kabar pertama kali muncul di Amerika pada tahun 1690 oleh Benjamin Harris, seorang jurnalis. Surat kabar tersebut bernama Publick Occurrences both Foreign and Domestick. Salah satu isi dari surat kabar tersebut adalah isu perselingkuhan raja Perancis dan istri anak laki-lakinya. Sejak saat itu, surat kabar Publick Occurrences ditutup karena merilis isu perselingkuhan keluarga kerajaan.
1.2 Awal Mula dari Revolusi
Surat kabar berkembang secara pesat dan terus bertambah jumlahnya dalam era perang revolusi, kebanyakan berpihak kepada pemerintah dalam pemberitaan. Ini lah awal mula terbentuknya pers politik.
1.4 Munculnya Surat Kabar Massa
Surat kabar massa harus memenuhi beberapa syarat sebelum diproduksi, seperti:
- Percetakan secara printing sudah harus ada sehingga proses percetakan dapat mencetak Salinan surat kabar secara masal dengan cepat dan murah.
- Harus ada cukup orang untuk mengetahui cara membaca agar dapat medukung majunya pers.
- Harus ada peminat surat kabar.
2. Perkembangan Majalah
2.1 Periode Penjajahan
Pada periode ini, magazine diartikan sebagai ruang penyimpanan, yaitu tempat di mana berbagai macam suplai disimpan. Cetakan majalah pertama di Amerika, mengikuti model magazine karena dalam majalah tersebut memiliki isi atau suplai seperti, buku, pamflet, dan surat kabar yang disatukan dalam satu cetakan. Pada era ini, semua majalah menargetkan pembaca yang berpendidikan dan memiliki status sosial.
2.2 Setelah Era Revolusi
Majalah menjadi terkenal pada akhir abad 18 dan awal abad 19 dengan konten yang berisi tentang percampuran antara politik dan artikel-artikel yang relevan dengan pembacanya, yaitu golongan berkelas atau elit-elit berpendidikan.
2.3 Meledaknya Popularitas Majalah
Pada tahun 1860, kurang lebih ada 260 majalah yang diterbitkan di Amerika dan pada tahun 1900 jumlah terbitan majalah sudah mencapai angka 1.800 cetakan. Faktor yang membuat majalah berkembang adalah ketersedian uang dan teknik percetakan yang lebih maju sehinga mengurangi biaya produksi.
3. Perkembangan Surat Kabar di Indonesia
Surat kabar pertama Indonesia adalah Bataviasche Nouvelles en Politique. Surat kabar tersebut terbit pada 7 Agustus 1744.
Era Penjajahan Belanda (1700-1900)
Pada tahun 1700-1900, telah beredar surat kabar yang diterbitkan oleh penjajah Belanda: Kort Beiricht Eropa, Bataviase Nouvelles, Vendu Nieuws, dan Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar tersebut ditulis dengan bahasa Belanda yang mutu, bentuk, dan tampilannya sangat sederhana. Fungsinya untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa itu karena memang Belanda adalah negara yang sangat memperhatikan dokumentasi.
Era Prakemerdekaan (1900-1945)
Memasuki tahun 1900-an, kualitas dan fungsi surat kabar meningkat. Bukan lagi sebatas sarana dokumentasi, melainkan berkembang menjadi sarana menyampaikan saran, kritik, dan aspirasi, terutama bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Surat kabar pertama yang terbit dan dikelola oleh orang Indonesia ialah Medan Prijaji. Surat kabar berbahasa Indonesia dengan bahasan politik ini terbit pada bulan Januari tahun 1907. Pelopornya adalah Raden Mas Tirtoehadisoerjo.
Kehadiran Medan Prijaji menjadi penggerak terbitnya surat kabar lain yang dipelopori tokoh-tokoh perjuangan: Oetoesan Hindia oleh Hadji Oemar Said Cokroaminoto (tokoh Islam); Halilintar dan Nyala oleh Samaun (tokoh kiri), Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak oleh Ki Hajar Dewantara (tokoh nasionalis); Benih Merdeka dan Sinar Merdeka oleh Parada Harahap (Wartawan senior yang dijuluki the King of Java Press); Suara Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka, dan Sinar Indonesia oleh Soekarno (tokoh demokrat yang menjadi presiden pertama Indonesia), dan masih banyak surat kabar lainnya yang terbit dan tersebar di berbagai wilayah.
Surat kabar tersebut tidak bertahan lama. Satu persatu mulai berguguran dan akhirnya bangkrut karena modal kurang dan pemberedelan oleh negara penjajah, Belanda dan Jepang, menjadi penyebabnya. Bahkan, pada saat Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942, surat kabar yang terbit di Indonesia hanya satu: Djawa Shimbun. Kemudian ada beberapa surat kabar yang diijinkan terbit oleh Jepang, seperti Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia, tapi operasionalnya diawasi sangat ketat oleh Jepang.
Era Pascakemerdekaan (1945-1950)
Pada saat Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan terusir dari Indonesia pada tahun1945, Belanda, yang ikut serta dengan Inggris, kembali mencoba mengendalikan percetakan dan penerbitan surat kabar. Akan tetapi, berkat perjuangan Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang lainnya, hal tersebut gagal. Bahkan, surat kabar Belanda ditutup dan perusahaan percetakan miliknya dinasionalisasi menjadi milik Indonesia.
Pada tahun 1946, surat kabar menemukan jati dirinya. Hal ini ditandai dengan terbentuknya organisasi Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada Juni 1946 dan disusul dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada Febuari 1946. Hadirnya kedua organisasi ini setidaknya memberikan tujuan, visi, dan misi yang jelas bagi keberlanjutan surat kabar.
Era Orde Lama (1950-1965)
Pada era 1950-an, dipelopori partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa, surat kabar tumbuh dan berkembang pesat. Data tahun 1954, beredar 105 surat kabar harian dengan oplah 697.000 eksemplar di seluruh Indonesia. Pada tahun 1959, jumlah surat kabar menurun menjadi 94 saja, tetapi oplahnya meningkat menjadi 1.036.500 eksemplar.
Surat kabar besar pada waktu itu adalah Harian Rakjat (Partai Komunis Indonesia), Pedoman (Partai Sjarikat Islam), Suluh Indonesia (Partai Nasional Indonesia), dan Abadi (Masjumi).
Dalam perjalanannya, presiden Soekarno melalui demokrasi terpimpinnya menerapkan pers terpimpin. Surat kabar yang isinya tidak sejalan dengan tujuan demokrasi terpimpin diberedel dan dicabut izin terbitnya. Indonesia Radja milik Moechtar Loebis dan Pedoman milik Rosihan Anwar adalah sebagian kecil surat kabar yang diberedel pemerintahan orde lama, Soekarno.
Era Orde Baru (1966-1998)
Orde baru ditandai dengan lengsernya presiden Soekarno, dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI), dan diangkatnya Soeharto menjadi Presiden Indonesia kedua. Surat kabar pro-PKI ditutup. Hanya surat kabar milik tentara, nasionalis, agama, dan kelompok independen yang diizinkan terbit: (1) surat kabar tentara: Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera, Api Pancasila, dan Pelopor Baru; (2) surat kabar nasionalis: Suluh Marhaen, El Bahar, dan Warta Harian; (3) surat kabar Islam: Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam, dan Mercusuar; (4) surat kabar Kristen: Kompas dan Sinar Harapan.
Pembatasan pers juga diterapkan oleh pemerintahan orde baru, Soeharto. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak sejalan dengan tujuan pemerintah akan diberedel, terlebih lagi surat kabar yang menyinggung Cendana dan kroni-kroninya. Pemberedelan terbesar terjadi pada saat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), 12 surat kabar dan majalah diberedel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Pos, dan Ekspress.
Berkaitan dengan kebijakan pemberedelan tersebut, Ali Moertopo (tangan kanan presiden Soeharto) pernah menuturkan bahwa kebebasan pers yang disalahgunakan dapat mengganggu pembinaan politik. Oleh karena itu, pers harus dikendalikan dan dibina. Kebijakan pembredelan berlangsung hingga orde baru runtuh pada Mei 1998.
Dalam perjalanannya, era orde baru menjadi saksi lahirnya surat kabar dan majalah besar di Indonesia: Kompas (P. K. Oetjong dan Jacoeb Oetama), Sinar Harapan (H. G. Rorimpandey), Tempo (Goenawan Mohamad), Media Indonesia (Surya Paloh), dan lain – lain..
Era Reformasi (1998-2000)
Era reformasi adalah era kebebasan pers. Presiden ketiga Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, membubarkan Departemen Penerangan, induk pembatasan pers pada orde baru yang dipimpin oleh Harmoko. Surat kabar dan majalah kemudian dibiarkan tumbuh dan menjamur, begitu juga media-media lainnya: televisi dan radio. Tanpa tekanan; tanpa batasan. "Informasi adalah urusan masyarakat," kata Gus Dur.
Kebebasan ini kemudian melahirkan raksasa-raksasa media. Disebut raksasa karena hampir seluruh bidang media digeluti mulai dari surat kabar, majalah, televisi, radio, dan website (surat kabar digital). Mereka adalah Kompas (Jacoeb Oetama), Jawa Pos (Dahlan Iskan), Media Indonesia (Surya Paloh), Media Nusantara Citra (Hary Tanusoedibjo), dan Tempo (Goenawan Mohamad). Luar biasanya, media mereka sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Era Digitalisasi (2000-Sekarang)
Era digitalisasi ditandai dengan berkembang pesatnya internet. Perkembangan internet ditandai dengan lahirnya surat kabar digital melalui media website di internet. Pelopornya adalah detik.com. Tidak lama kemudian, lahirlah surat kabar digital lainnya seperti, beritanet.com, kompas.com, tempo.co.id, antara.com, dan lain-lain.
Bahkan, orang pribadi pun bisa membuat surat kabar digital sendiri melalui media blogger.com atau wordpress.com. Ada prediksi yang mengatakan bahwa kehadiran surat kabar digital akan menghilangkan surat kabar fisik. Isu efisiensi sumber daya alam mendukung prediksi tersebut. Faktanya sudah terjadi di Amerika Serikat, perusahaan media Settle Post menutup operasional surat kabar fisiknya dan lebih memilih beroperasi melalui surat kabar digital
Geliat surat kabar digital tersebut mengakibatkan kekhawatiran Dahlan Iskan, pimpinan media Jawa Pos Grup. Menurut Dahlan, secara bisnis, surat kabar digital sangat tidak menguntungkan dibandingkan surat kabar fisik karena profit yang didapat lebih sedikit. Dia kemudian mencontohkan detik.com yang laba bersihnya sebulan hanya mencapai ratusan juta rupiah, sangat jauh dibandingkan surat kabar fisik yang mencapai miliaran rupiah.
Perkembangan Majalah di Indonesia
Perkembangan majalah di Indonesia (pra kemerdekaan). Majalah berbahasa dan beraksara Jawa, Soeara Muhammadijah, terbit di Yogyakarta sejak tahun 1915. Dalam salah satu edisinya berisi tentang keterangan singkat agama Islam. Sedekah atau selamatan tetukon dan ngelmi sejati, dan Majalah mingguan “Adil” yang terbit di Surakarta tahun 1930 dan dipimpin oleh Soerono Wirahab tahun 1930.
Perkembangan majalah di Indonesia (Pasca kemerdekaan) Pada tahun 1945 terdapat majalah yang terbit dipimpin oleh Markoem Djojohadisoeparto dan diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara yaitu majalah Pantja Raja di Jakarta. Selain itu, di Ternate terbit majalah mingguan Menara Merdeka yang diterbitkan oleh Arnold Monoutu dan Dr Hassan Missouri pada Oktober 1945. Majalah tersebut berisi tentang berita-berita dari Radio Republik Indonesia. Tadjib Ermadi juga menerbitkan majalah berbahasa Jawa yaitu Djojobojo dan di Blitar terdapat juga majalah berbahasa Jawa dengan nama Obor (Suluh) pada saat itu.
Awal orde baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya, diantaranya, di Jakarta terbit majalah Selecta yang dipimpin oleh Sjamsudin Lubis, majalah sastra Horison yang dipimpin oleh Mochtar Luis, Panji Masyarakat dan majalah Kiblat. Hal ini terjadi seiring dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin membaik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju.
Perkembangan Surat Kabar dan Majalah Digital
- Pada era digital, terdapat transisi dari surat kabar yang mulanya konvensional menjadi surat kabar online, begitupun majalah mengalami hal yang sama. Dengan adanya transisi ini, biaya produksi dapat dikurangi dan pendapatan dapat meningkat.
- Surat kabar online dapat menutupi kekurangan dari surat kabar cetak, seperti dalam percetakan, berita yang dapat dimuat terbatas. Akan tetapi, dalam platform online lebih banyak berita yang dapat dimuat.
- Dengan adanya majalah via online, kita dapat membaca majalah di mana pun dan kapanpun
- Surat kabar online dan majalah dapat menggunakan fitur user-generated content
- Surat kabar online menyediakan gambar, audio, maupun video dalam pemberitaannya
- Surat kabar online bersifat interaktif. Adanya kolom komentar dapat memungkinkan pembaca memberikan feedback yang cepat.
- Mobile Media memungkinkan percetakan dalam membuat aplikasi.
- User-generated content memungkinkan pengguna atau pembaca dalam menulis artikel atau berita mereka sendiri kemudian percetakan yang akan mempublikasikannya.
sumber
Dominick,Joseph R. (2011).TheDynamics of Mass Communication:Media in The Digital Age.New York: McGraw Hill.
Comments